OPINI TINDAK-TANDUK MAHASISWA
Oleh Makmur (Kabid Humas Birokrasi)
Mempunyai kesempatan
mengenyam ilmu pengetahuan di bangku sekolah pastinya impian setiap individu.
Apalagi bisa melanjutkan kejenjang pendidikan tinggi atau perguruan tinggi
(PT).
Pastinya kebanggaan tersendiri yang dirasakan.
Sebab, tidak semua orang mempunyai kesempatan bisa merasakan kehidupan
universitas atau familiar dengan sebutan kampus. Banyak yang menginginkan, akan
tetapi banyak faktor pula yang menghalangi dan menjadi penghambat.
Di- era Milenial ini tidak jarang terdengar
ungkapan terkait pentingnya sebuah pengakuan dan legalitas pada tatanan
stratifikasi sosial, Khususnya jenjang dan latar belakang pendidikan. Hal itu
bukan hanya buaian. Akan tetapi, realitas dan fakta dilapangan menuntut akan
hal itu dan sering kali menjadi topik pembicaraan.
Bukan rahasia lagi pastinya, bahwa segala aspek yang
berkaitan dengan sebuah profesi yang ditekuni nantinya kerap kali harus
dibuktikan dengan selembar kertas sertifikat (Ijazah dan nilai) sebagai
legitimasi (keabsahaan) seseorang memiliki potensi diri dan skill yang mumpuni,
terlebih menguasai disiplin pengetahuan tertentu.
Lagi- lagi hal tersebut sepertinya menjadi salah satu
kebutuhan pokok memperkuat identitas seseorang dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Maka tidak jarang pula ditemukan pelajar purna Sekolah Menengah
Atas (SMA/MA/MA sederajat) berbondong- bondong mendaftarkan diri sebagai
mahasiswa walaupun dari plosok desa.
Terlepas dari tuntutan pengakuan sosial kemasyarakatan
(legalitas stratifikasi sosial), memang menuntut ilmu pengetahuan tidak
terjerat dengan batas waktu. Sebab, manusia sejak lahir hingga menemui ajalnya
butuh pengetahuan yang sifatnya selalu dinamis dan tidak statis.
Hal ini diperkuat dengan perkembangan yang terjadi.
Dimana seseorang dituntut mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
setiap kali selalu butuh pembaharuan. Dalam artian, setiap fenomena yang
terjadi butuh jawaban yang rasioanal dan mampu menjadi pembenaran adagium
publik walaupun sifatnya tidak absolut (mutlak).
Mahasiswa merupakan sebuah gelar yang disandangkan kepada
seseorang yang sudah resmi diterima di sebuah perguruan tinggi atau kampus,
baik Negeri (PTN) maupun Swasta. Hal ini biasanya dibuktikan dengan bukti
penerimaan secara administratif dari pihak akademik. Lalu diperkuat dengan
Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan momor Nomor Induk Mahasiswa (NIM) atau Nimko.
Disisi lain, mahasiswa dikenal sebagai salah satu mahluk
tuhan yang memiliki kapasitas, elektabilitas dan kredibilitas tinggi pada
tatanan masyarakat. Disamping itu, kemampuan nalar mahasiswa dianggap melebihi
rata rata dan kerap menjadi tumpuhan masyarakat apabila sedang menghadapi
sebuah persoalan.
Demikian itu bukan tanpa alasan. Pengakuan akan kesaktian
mahasiswa untuk mampu memecahkan persoalan dan turut serta menjadi pion- pion
perubahan tidak jarang diungkapkan oleh mayoritas penduduk negeri. Sehingga
mahasiswa dijuluki sebagai agent perubahan (cange).
Keaktifan menjadi pelopor dan menyuarakan sebuah konsep
yang ideal menuju arah yang lebih baik juga tidak sulit ditemukan pada manusia
yang menyandang status mahasiswa. Bahkan, tidak jarang kelompok sosial
terpelajar ini menjadi corong menyampaikan problem- problem yang dianggap tidak
pro terhadap masyarakat. Julukannya pun tidak hanya dijadikan sebagai agen Of
cange, melainkan menyandang status sebagai pengontrol sosial (control sosial).
Selanjutnya, yang namanya mahasiswa kerap kali tidak puas
terhadap suatu hal yang sifatnya stagnan. Kadang, agar sesuatu itu bisa
berkembang dan melahirkan sebuah konsep baru dan mampu diterapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai cara dilakukan untuk mewujudkannya.
Akan tetapi bukan tanpa dasar, melainkan sebuah analisis, kajian, dan diskusi
dilakukan dan berusaha dipertanggung jawabkan secara akademis dan sosial,
bahkan agama. Sehingga Iron Stock disandangkan kepadanya.
Sebagai insan yang mempunyai ilmu pengetahuan, mahasiswa
tidak lepas dari penilaian masyarakat. Mayoritas rujukan prilaku positif
dikaitkan terhadap orang orang yang berpendidikan tinggi (Mahasiswa).
Sehingga mahasiswa dipercaya sebagai panutan dan contoh
moralitas. Maka penyandangan akan istilah moral force kembali diterima
mahasiswa.
Pertanyaannya, apakah semua orang yang duduk dibangku
kuliah secara keseluruhan bisa menyandang 4 status tersebut (Agen Of cenge,
Control sosial, Iron Stoke dan Moral Force) ? Selanjutnya, tipe mahasiswa
seperti apa yang masuk dalam kategori teraebut?.
Pasti pertanyaan ini sangat mudah dijawab secara lisan
dan sulit dibuktikan dengan tindakan. Anehnya, harapan dan kepercayaan
masyarakat akan mahasiswa begitu besar. Karena anggapan yang ada selain
memiliki pengetahuan yang matang, juga tindakan yang dilakukan sudah melalui
kajian dan pertimbangan secara akademis dan moralitas.
Bahkan mahasiswa ditempatkan pada posisi yang cukup
istimewa dan cukup disegani. Karena, selain bisa menjadi corong menyampaikan
aspirasi rakyat kepada pemerintah, juga bisa bersinergi dengan birokrasi untuk
kepentingan rakyat. Ungkapan kata- kata akan kejayaan mahasiswa yang
sangat dahsat tak lain, "Mahasiswa Takut ke Dosen, Dosen takut Ke Mentri,
Mentri Takut Ke Presiden, dan Presiden Takut terhadap mahasiswa". Terbukti,
runtuhnya rezim orde baru tidak lepas dari gerakan mahasiswa yang dikenal
dengan aktifis 98.
Lantas mahasiswa seperti apa yang memang diharapkan
masyarakat untuk mewujudkan cita cita kemerdekaan?. Pastinya 4 gelar yang
disandangkan tersebut harus bisa menyatu dengan tubuh mahasiswa. Dan itu tidak
mudah, dan butuh proses panjang.
Sebagai insan akademis, maka apa yang dilontarkan
mahasiswa harus berdasar serta mampu dipertanggung jawabkan secara akademis.
Hal ini tidak semerta- merta bisa dikuasi jikalau tidak dilakukan prosesnya
tidak melalui proses akademis, diantaranya dengan membaca dan memperkaya
literatur disiplin pengetahuan, kajian, diskusi dan forum ilmiah lainnya.
Tindakan seorang mahasiswa harus menjadi inspirasin
dan penggugah Ghiroh (penyemangat) serta bernilai manfaat untuk kemaslahatan
bersama. Tentunya tidak melanggar asas konstitusi negara yang diantaranya
meliputi UUD 45, Pancasila, Binnika Tunggal Ika, dan perundang- undangan
lainnya, serta kearifan lokal (local wisdown) yang berlaku.
Selain itu, mahasiswa dituntut peka terhadap realitas
yang terjadi kepada masyarakat bawah. Idealisme yang tertanam dalam hati nurani
dan fikiran diharapkan mampu menjadi pion pion perubahan sebenarnya. Bukan
sebaliknya, yakni menjadi blenggu dan perampas hak rakyat, parahnya berani
menjadi penjilat rakyat. Sungguh memalukan apabila hal ini terjadi.
Proses belajar peka terhadap hal demikian itu sulit
didapatkan pada saat jam perkuliahan berlangsung. Kenapa demikian, sebab pada
saat kegiatan akademik dilaksanakan, fokus disiplin pengetahuan kebanyakan
berkutat pada teori- teori fokus mata kuliah saja. Bahkan yang terjadi sering
kali hanya disibukkan dengan tugas mata kuliah yang selesai pada presentasi
makalah untuk perolehan nilai. Hal ini tidak salah dan budaya akademik.
Mahasiswa pun harus mematuhi. Akan tetapi, jangan sampai larut akan zona itu.
Karena, diluar sana masih banyak disiplin pengetahuan lain yang harus digali,
di ekspolrasi dan eksploitasi.
Kemampuan peka terhadap keadaan, apalagi berani mengambil
tindakan walaupun tidak signifikan sangat sukar didapat pada waktu jam kuliah.
Kebanyakan demikian ini mampu diserap melalui wadah organisasi baik intra
maupun ektra.
Mahasiswa, selain sebagai insan akademis juga sebagai
mahluk sosial yang tidak lepas dari kelompok masyarakat. Disaat kembali ke
kampung halaman, tidak jarang problem problem maayarakat dihadapi dan butuh
penyelesaian. Untuk belajar hal itu, berorganisasi salah satu cara memahami
kelompok sosial yang sifatnya plural. Belajar peka tergadap permasalahan,
belajar memahami antara satu dan lainnya, belajar menganalisa masalah,
memecahkan masalah bahkan memberikan solusi tidak sulit ditemukan di lingkungan
organisasi.
Banyak orang besar dan berpengaruh di negera kita
bahkan mendunia bukan hanya lebel kampusnya yang besar. Melainkan ada wadah
lain yang mendukung. Dan salah satu contoh yang terus diperkenalka
Sebagai sejarah awal mula indonesia meraih kemerdekaan
tidak lepas dari lahirnya organisasi. Kala itu, orang orang terpelajar
berkumpul dan bersatu dalam sebuah wadah yang dikenal dengan perkumpulan budi
utomo. Organisasi ini lahir pada tahun 1908 dan menjadi pemicu gerakan
bersama melawan penjajah (kolonial) yang kala itu pula dikenal dengan hari
kebangkitan nasional.
Oleh karena itu, mahasiswa tidak cukup masuk kelas dan
rajin mengikuti mata kuliah yang telah dijadwalkan oleh akademik. Akan tetapi,
untuk bisa mengemban amanah dan tanggung jawab sebagai mahasiswa dituntut mampu
menguasi disiplin pengetahuan, beretorika, berkarya dan bergerak demi
kepentingan bangsa dan bernegara.
Nilai IPK memang penentu kelulusan. Akan tetapi,
sebagai mahasiswa yang nantinya akan dinobatkan sebagai sarjana (S-1) dan
memiliki tempat khusus dalam kehidupan sosial harus mampu melatih diri dan siap
terjun dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Kampus sebagai miniatur
negara kecil harus dijadikan sarana melatih diri dalam segala aspek. Baik
pemerintahan, sosial, agama, budaya, tradisi dan semacanya. Karena menurut bung
karno, kampus adalah ladang bagi mahasiswa untuk belajar hidup bersama, belajar
berkelompok, dan memahami satu sama lain dalam perbedaan.
Terakhir,
ketika nantinya mahasiswa sudah menyandang gelar sarjana pastinya tidak akan
kaget dan siap berbaur dan menuangkan hasil dari petualangan menggali
pengetahuan di lingkungan kampus untuk kepentingan bersama. Karena sarjana yang
baik, dia yang kembali ke kampung halamannya dan mengabdikan diri demi
kesejahteraan berasama. Dimanapun kita berdiri, duduk bahkan terlentang, maka
harus menggoreskan sejarah. Dan sejarah bangsa ini meraih kemerdekaan tidak
lepas dari perjuangan rakyat. Dan rakyat tidak lepas dari arahan dan komando
orang orang terpelajar yang berorganisasi. Dan berorganisasi bukti nyata para
funding Father bangsa meraih kemerdekaan bersama raktyat.
0 comments:
Posting Komentar